Kita sering mendengar kedua kata “Nyali” dan “Harga Diri” saat beranjak dewasa. Ketidakacuhan terhadap pemahaman maknanya dapat mengurangi hakikat kita hidup sebagai Manusia (meaningless). Sedangkan, penyalah-artian definisi dari kedua kata tersebut justru dapat merusak kualitas hidup. Artikel ini menjelaskan antara keseimbangan antara nyali dan harga diri yang perlu diketahui.

Keseimbangan Antara Nyali dan Harga Diri

Mari kita perjelas dulu definisi Nyali dan Harga Diri.

  • Nyali adalah semangat dan keberanian yang dapat muncul di dalam diri seseorang.
  • Harga diri adalah pandangan kita terhadap nilai diri kita sendiri, bukan berdasar penilaian orang lain atau banyak orang.

Penjabaran mengenai nyali dan harga diri bisa menjadi terlalu panjang. Apa yang penting adalah, kedua hal tersebut harus berdasarkan prinsip dan nilai kebenaran, dan selanjutnya ini akan berujung pada pemikiran untuk menemukan batasan-batasan yang diperlukan dalam menjaga keseimbangan antara nyali dan harga diri tersebut.

Mengenali Batas-batas Nyali dan Harga Diri

Nyali yang tanpa batas akan menjadi liar dan dapat merusak jiwa seseorang dalam jangka panjang. Harga diri yang berdasarkan kesombongan tidak ada bedanya dengan berbangga diri narsistik, dan ini juga akan berdampak sama buruknya.

Dampak buruk dari nyali dan harga diri yang tanpa mengenal batas-batasnya dapat menyebabkan seseorang menjadi terlalu ekstrim dan berpotensi merusak diri dan sekelilingnya.

Mungkin saja dampat tersebut tidak langsung terlihat jelas, katakanlah ada yang terlihat dampaknya setelah beberapa tahun atau beberapa puluh tahun.

Hal ini juga dapat berlangsung turun temurun melalui pola asuh narsistik, bahkan dapat sebabkan anak menjadi depresi dan muncul rasa ingin bunuh diri.

Apa yang dapat menjadi dasar keseimbangan antara nyali dan harga diri adalah pengetahuan akan kebenaran. Sehingga, seseorang dapat mengenali batas-batas nyali dan harga dirinya.

Misal, ketika ada seorang Wanita yang menyatakan “berani tampil apa adanya” alias berani tampil bare-face, lantas memposting di media sosial agar teman-temannya melihat bahwa dia adalah seorang Wanita yang cantik apa adanya.

Tentu hal tersebut akan lebih “kental” nuansa arogansinya, yakni berbangga-bangga diri.

Manusia memang memiliki kebutuhan akan pengakuan, namun hal tersebut harus kita capai dengan cara dan dalam konteks yang positif. Pada akhirnya, aksi “Nyali” tersebut merefleksikan standar ganda ketimbang “Harga Diri”.

Standar Ganda dan Kemunafikan

Mari kita bahas dulu mengenai standar ganda dan kemunafikan, sebelum lanjut pada keseimbangan antara nyali dan harga diri.

standard ganda kemunafikan

Semua orang menginginkan martabat dan reputasi yang baik di pandangan orang lain dan ini dapat menimbulkan kebutuhan akan pengakuan. Oleh karena itu, konsep harga diri yang mengikut sertakan orang lain akan menjadi ‘bumerang’ bagi diri kita sendiri.

Ketika pengakuan tersebut kita peroleh dengan cara melampaui batas norma etika, moral, dan adab, maka hasilnya hanyalah kesombongan.

Definisi Kesombongan

Kesombongan sendiri di definisikan sebagai merasa diri lebih tinggi dari orang lain atau menganggap orang lain lebih rendah dari dirinya. Definisi lainnya dari kesombongan adalah menolak kebenaran. Ini artinya kesombongan dan kebohongan memiliki kaitan langsung.

Sombong dan Berbangga Diri

Ketika kesombongan muncul, maka ini artinya seseorang sedang membohongi diri sendiri. Persepsi dan pernyataan ber-standar ganda akan dapat kita lihat dari diri seseorang yang sedang terjangkit penyakit sombong atau suka berbangga-bangga diri.

Dibalik standar ganda selalu ada kemunafikan, atau ketidaksesuaian antara pernyataan dan realisasinya dalam kehidupan. Kemunafikan akan memperkuat seseorang untuk terus berbangga-bangga diri, bahkan dengan modal dari kehidupan di masa lalunya.

Pentingnya Introspeksi dan Kesadaran Diri

Memahami diri merupakan proses berkelanjutan dan memerlukan penelaahan ulang atau re-assessement agar dapat memperbaiki atau re-stating diri dari kekurangan atau kesalahan.

Dalam hal ini, informasi atau masukan dari orang lain dapat bermanfaat pada proses introspeksi. Setelah di mana kekurangan atau kesalahan, kita dapat mulai mencari cara untuk memperbaikinya.

Introspeksi sangat diperlukan dalam menjaga keseimbangan antara nyali dan harga diri. Sayangnya, kemampuan untuk menelaah ulang diri sendiri ini memang harus dilatih.

Masalahnya, apa yang dapat menghambat pelatihan introspeksi adalah kebohongan dan kesombongan. Oleh karena itu, sangat penting untuk selalu jujur baik ke orang lain maupun ke diri sendiri.

Tanpa kejujuran, kesadaran diri akan menghilang secara lambat laun dan berpengaruh pada kesehatan jiwa seseorang.

Pengendalian Nyali dan Harga Diri

Setelah memiliki kemampuan untuk berintrospeksi dengan baik, barulah seseorang dapat mulai mengendalikan nyalinya dan harga dirinya. Tanpa introspeksi, berarti tidak mengenal batasan-batasan yang ada pada nyali dan harga diri.

Mulai dari memahami pengetahuan konsep dan prinsip kebenaran, implementasinya, dan sebagainya itu merupakan hal yang wajib dilakukan oleh setiap insan manusia, kecuali mereka yang sakit jiwa. Tujuannya agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.

Nyali memang tidak terkait langsung dengan emosi, pengendaliannya pun cukup berbeda. Caranya, kita harus dapat menahan suatu keinginan bertindak. Mentalitas penjudi yang untung-untungan sering berakhir konyol dan merugikan.

Menahan diri merupakan kunci dari pengendalian nyali. Pemahaman konsep harga diri dan introspeksi dapat menyeimbangkan nyali dan harga diri, sehingga seseorang tidak mengambil keputusan atau bertindak secara berlebihan yang ekstrim.

Dalam hubungan romantis, nyali dan harga diri sering menjadi masalah utama keharmonisan hubungan. Oleh karena itu, berpegang teguh pada nilai yang dianut dapat menjadi dasar yang kuat dalam membina suatu hubungan.

Islam Mengajarkan Kemuliaan

Artinya, seseorang diarahkan untuk menjadi pribadi yang mulia. Mulia berbeda dengan “Mengagumkan” yang lebih mengarah pada suatu kebanggan.

Dalam ajaran Al-Quran, pribadi yang mulia sudah ada contohnya, yakni pada diri Rasululloh Muhammad (Sallallahu Alaihi Wasallam).

Contoh tersebut dapat kita ikuti melalui Al-Hadist, sebuah kitab yang mencatat perkataan dan perbuatan Rasululloh Muhammad (Sallallahu Alaihi Wasallam).

Keberanian dan harga diri di dalam ajaran Islam lebih mengacu pada konteks untuk beribadah atau sebagai suatu persembahan kepada Yang Maha Pencipta. Sehingga, nyali dan harga diri dapat terjauhkan dari berbangga diri dan kemunafikan.

Oleh karena itu, mulai dari sekarang, mari kita lebih giat lagi menggali Al Qur’an dan Al Hadist, agar terjaga keseimbangan jasmani dan rohani kita, antara nyali dan harga diri, dan sebagainya.

Baik di Majlis Ta’lim maupun di Masjid Kampung terdekat, Anda dapat terus meningkatkan wawasan dan mendapatkan pencerahan.

Semoga tulisan singkat ini dapat menjadi pengingat dan menyadarkan kita semua (termasuk saya) dan memberikan manfaat. Terimakasih telah membaca hingga selesai, silahkan di share ke sosmed, WhatsApp, dan sebagainya jika tulisan ini bermanfaat untuk teman dan keluarga Anda.

Pin It on Pinterest

Share This